I.
Konsep dasar
A.
Pengertian
1.
Cedera Kepala (Head
Injury)
Menurut Satya
Negara (1998) cedera kepala merupakan jumlah deformitas jaringan dikepala yang
diakibatkan oleh suatu kekuatan mekanis.
Trauma kepala
adalah trauma yang disebabkan oleh kekuatan fisik eksternal yang dapat
menimbulkan atau merubah tingkat kesadaran. Hal tersebut dapat berupa kerusakan
atau gangguan kegiatan sehari-hari (Ignatavicius, Donna D. 1995)
Cedera kepala
sedang (Moderat Head Injury) Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai
tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat kesadaran lethargi, obturned atau
stupor. Gejala lain berupa muntah, amnesia pasca trauma, konkusio, rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat
kejang.
2.
Epidural
Hematoma
Epidural hematoma adalah akumulasi dari darah dan gumpalan darah antara lapisan dura
mater dan tulang tengkorak. Sumber perdarahan dari epidural hematoma adalah arteri
meningea (seringkali arteri meningea media) atau terkadang sinus venosus dura.
Perdarahan ini memiliki bentuk yang bikonveks atau lentikuler. Pasien dengan
epidural hematom akan mengalami kesadaran menurun yang berlangsung singkat pada
awalnya, diikuti dengan lucid interval. Interval ini kemudian diikuti dengan
kemunduran klinis yang cepat. Semua pasien dengan perdarahan epidural
membutuhkan intervensi yang cepat dari spesialis bedah saraf. Epidural hematom
akan menempati ruang dalam otak, olehnya itu, perluasan yang cepat dari lesi
ini, dapat menimbulkan penekanan pada otak.
3.
Contusio
Cerebral (Memar Otak)
Merupakan
perdarahan kecil atau petechie pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh
darah kapiler. Hal ini bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf atau otak
yang akan menimbulkan edema jaringan otak didaerah sekitarnya. Bila daerah yang
mengalami edema cukup luas akan terjadi peningkatan tekanan intracranial.
4.
Fraktur
Cervical
Merupakan fraktur yang terjadi pada tulang vertebra cervical (C1 –
C7), penyebab terbesar fraktur cervical adalah kecelakaan lalu lintas serta
kecelakaan saat olah raga. Fraktur cervical bisa disertai dengan kerusakan
medula spinalis (sum-sum tulang belakang) yang dapat menimbulkan
paralysis sebagian atau keseluruhan atau bahkan kematian.
Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa Moderate Head Injury + Epidural Hematoma minimal a/r
Fronto Parietal sinistra + Contusio Cerebral + Fraktur Cervical C1 & C5
ialah terjadinya cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 12, disertai dengan
sedikit akumulasi darah dan gumpalan darah antara lapisan dura mater dan tulang
tengkorak yang biasanya bersumber dari arteri meningea atau sinus venosus dura
di area fronto parietal bagian kiri, juga disertai dengan perdarahan kecil atau petechie pada jaringan otak akibat pecahnya
pembuluh darah kapileryang biasanya disertai dengan rusaknya jaringan saraf
atau otak yang akan menimbulkan edema jaringan otak didaerah sekitarnya, serta
terjadinta kerusakan pada tulang vertebra bagian cervical segmen C1 dan C5.
B.
Anatomi dan
Fisiologi Otak
Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai
agar-agar dan terletak didalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak),
yang secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang
dewasa.
Jaringan otak dilindungi oleh
beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah: kulit kepala yang mengandung
rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang tengkorak, meningens (selaput otak
dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998)
Otak
dibagi dalam beberapa bagian:
a.
Serebrum (otak
besar)
Merupakan bagian yang terluas dan
terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi depan atas rongga tengkorak,
masing-masing disebut fase kranialis anterior atas dan fase kranialis media.
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:
1)
Lobus
frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan siklus sentralis.
Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol motorik
gerakan volunter termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai ekspresi
emosi, moral dan tingkah laku etika.
Fungsi aktifitas motoriknya diekspresikan melalui: korteks
somato-motorik primer (area Brodmann 4), korteks premotor dan suplemen (area
Brodmann 6), frontal eye field (area Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area
Brodmann 44), sedangkan kontrol ekspresif dari emosi dan moral dilaksanakan
oleh korteks pre frontal (Satyanegara, 1998)
2)
Lobus
parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh karaco
oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan rasa
kecap, dimana selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk menimbulkan
kesiagaan tubuh terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara, 1998)
3)
Lobus
temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan didepan lobus
oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang berkaitan dengan
pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-memori.
4)
Lobus
oksipitalis, yang mengisi bagian belakang dari serebrum, lobus oksipitalis
sangat penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum, fungsi serebrum
terdiri dari:
a)
mengingat
pengalaman-pengalaman masa lalu
b)
pusat
persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi, keinginan dan
memori
c)
pusat menangis,
buang air besar dan buang air kecil
b.
Batang otak
(trunkus serebri)
Batang otak adalah pangkal otak yang
merilei pesan-pesan antara medula spinalis dan otak. Batang otak terdiri dari:
1)
Diensefalon,
bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan mesensefalon.
Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat
kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping. Fungsi dari diensefalon:
a)
Vaso kontruktor,
mengecilkan pembuluh darah.
b)
Respiratori,
membantu proses persyarafan.
c)
Mengontrol kegiatan
reflek.
d)
Membantu pekerjaan
jantung.
Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi sebagai
pusat integrasi susunan saraf otonom, regulasi temperatur, keseimbangan cairan
dan elektrolit, integrasi sirkuit siklus bangun-tidur, intake makanan, respon
tingkah laku terhadap emosi, pengontrolan endokrin, dan respon seksual.
Thalamus berfungsi sebagai pusat persediaan dan integrasi bagi semua jenis
impuls sensorik, kecuali penciuman. Thalamus memainkan peranan penting dalam
transmisi impuls nyeri.(satyanegara, 1998)
2)
Mesensefalon,
atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas, 2 disebelah
atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 disebelah bawah disebut korpus
quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius berjalan ke veritral dibagian
medial. Serat-serat saraf nervus troklearis berjalan ke arah dorsal menyilang
garis tengah ke sisi lain. Fungsinya terdiri dari:
a)
Membantu pergerakan
mata dan mengangkat kelopak mata.
b)
Memutar mata
dan pusat pergerakan mata.
3)
Pons varoli,
brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons varoli dengan
serebelum, terletak didepan serebelum diantara otak tengah dan medula
oblongota, disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernafasan dan
reflek. Fungsi dari pons varoli terdiri dari:
a)
Penghubung antara
kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata dengan serebelum.
b)
Pusat syaraf
nervus trigeminus.
4)
Medula
oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah medula oblongata
merupakan persambungan medula spinalis keatas dan bagian atas medula oblongata
disebut kanalis sentralis didaerah tengah bagian ventral medula oblongata. Fungsi
medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari medula spinalis
dan otak yang terdiri dari:
a)
Mengontrol pekerjaan
jantung.
b)
Mengecilkan pembuluh
darah (vasokonstruktor).
c)
Pusat pernafasan
(respiratory centre).
d)
Mengontrol kegiatan
reflek.
Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3
lapisan:
a.
Duramater
(lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal
dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan
duramater propia dibagian dalam. Didalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater pada
tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak, rongga
ini dinamakan sinus longitudinal superior, terletak diantara kedua hemisfer
otak.
b.
Arakhnoid
(lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan
duramater dengan piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan
otak yang meliputi seluruh susunan syaraf sentral. Medula spinalis terhenti
setinggi dibawah lumbal I-II terdapat sebuah kantong berisi cairan, berisi
saraf perifer yang keluar dari medula spinalis dapat dimanfaatkan untuk
mengambil cairan otak yang disebut pungsi lumbal.
c.
Piamater (lapisan
sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,
piamater berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat
yang disebut trabekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior
dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari falks serebri.
Tentorium memisahkan serebri dengan sereblum.(Syaifuddin, 1997).
C.
Etiologi
Kebanyakan cedera kepala merupakan
akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar yaitu:
a.
Kontak bentur,
terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau sebaliknya.
b.
Guncangan
lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang
disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan.
D.
Klasifikasi Cedera
Kepala
a.
Klasifikasi
cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan adalah sebagai berikut:
1)
Cedera kepala
ringan (mild HI)
Suatu keadaan
dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian tingkat kesadaran
(GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif. Klien tidak
mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya konkusio, tidak
ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya mengeluh nyeri
kepala dan pusing. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit
kepala
2)
Cedera kepala
sedang (moderat HI)
Suatu keadaan
cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat
kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah, amnesia
pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal
dan biasanya terdapat kejang.
3)
Cedera kepala
berat (severe HI)
Cedera kepala
dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat kesadaran koma. Terjadi
penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda neurologis fokal, cedera
kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. Mengalami amnesia > 24
jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intra kranial.
b.
Klasifikasi
perdarahan intrakranial berdasarkan lokasi akibat cedera kepala adalah sebagai
berikut:
1)
Hematoma epidural
Adalah
pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan
duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau rusak (laserasi),
dimana arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak (laserasi),
dimana arteri ini berada diantara duramater dan tengkorak daerah inferior
menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi karena arteri ini menyebabkan
penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas, disebabkan oleh
perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada
saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan. Gejala
klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin menurun disertai anisokor pada
mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontra lateral. Sedangkan hematoma
epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas
selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah
beberapa hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena proses desak ruang akut,
bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya pada perdarahan epidural,
temporal yang dapat menyebabkan herniasi unkus.
2)
Hematoma
subdural
Adalah
pengumpulan darah diantara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi
perdarahan vena. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga
terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dari aneurisma, hemoragi subdural
lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah
kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut,
subakut atau kronik, tergantung pada ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah
perdarahan yang ada.
a)
Hematoma
subdural akut, sering dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi
kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan/ atau tanda
gejala klinis: sakit kepala, perasaan kantuk dan kebingungan, respon yang
lambat dan gelisah. Tekanan darah meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan
pernafasan cepat sesuai dengan peningkatan hematoma yang cepat. Keadaan kritis
terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
b)
Hematoma
subdural sub akut, biasanya berkembang 7-10 hari setelah cedera dan dihubungkan
dengan kontusio serebri yang agak berat dan dicurigai pada pasien yang gagal
untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Tanda dan gejala sama
seperti pada hematoma subdural akut. Tekanan serebral yang terus menerus
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran yang dalam. Angka kematian pasien
hematoma subdural akut dan subakut tinggi, karena sering dihubungkan dengan kerusakan
otak.
c)
Hematoma
subdural kronik, terjadi karena cedera kepala minor. Mulanya perdarahan kecil
memasuki di sekitar membran vaskuler dan pelan-pelan meluas. Gejala klinis
mungkin tidak terjadi/ terasa dalam beberapa minggu atau bulan. Keadaan ini
pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik, lansia
cenderung yang paling sering mengalami cedera kepala tipe ini sekunder akibat
atropi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan. Cedera kepala minor dapat
mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan
sekuela negatif.
3)
Hematoma
intraserebral
Adalah perdarahan ke dalam substansi
otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana mendesak ke
kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak, cedera tumpul).
Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik
yang menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantung
aneurisma, anomali vaskuler, tumor intrakranial. Akibat adanya substansi darah
dalam jaringan otak akan menimbulkan edema otak, gejala neurologik tergantung
dari ukuran dan lokasi perdarahan.
E.
Patofisiologi
Pada trauma kepala dimana kepala
mengalami benturan yang kuat dan cepat akan menimbulkan pergerakan dan
penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara mendadak serta pengembangan
gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan cedera
akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi
merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek akselerasi
kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan
deselerasi kepala anterior-posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu
benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau memar pada permukaan otak, dengan
adanya lesi, robekan, memar tersebut akan mengakibatkan gejala defisit
neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran yang progresif,
reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali
biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada trauma kepala dapat juga
menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi karena pada dinding kapiler
mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Sehingga
cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena adanya
perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan
relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi
cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena “gantung” (bridging veins).
Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat
menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang
subdural akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga
menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila
hebat sekali dapat menimbulkan kontusi kontra-kup.
Akibat dari adanya edema, maka
pembuluh darah otak akan mengalami penekanan yang berakibat aliran darah ke
otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan iskemia yang akhirnya
gangguan pernapasan asidosis
respiratorik (Penurunan PH dan peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari
adanya perdarahan otak dan edema serebri yang paling berbahaya adalah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena adanya proses
desak ruang sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak.
Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan
edema yang bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TTIK yang
terjadi karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi.
F.
Manajemen medis
secara umum pada trauma kepala (Arif Mansjoer, dkk, 2000)
a.
Anti kejang:
kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.
Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi
sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin
15 mg/ kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi
50 mg/ menit.pada cedera kepala berat, Antikejang fenitoin diberikan 15-20
mg/kgBB bolus intavena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi
kejang pascatrauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan
perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian
fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari.
Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10
hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar subterapi sering
disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
b.
Nutrisi: cedera
kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan
50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa
nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin (biasanya hari
ke-2 perawatan)
c.
Temperatur
badan: demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak dan
harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
Pengobatan penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu.
d.
Steroid:
steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala
dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan komplikasi lain. Untuk
itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri
akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam)
e.
Profilaksis
ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati memiliki resiko
ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg
intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2
antagonis lain atau inhibitor proton.
f.
Antibiotik:
penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala
terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko
meningitis penumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal
atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan
organisme yang lebih virulen.
g.
Therapi
hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
h.
Pengobatan
antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau
gliserol 10%
i.
Makanan atau
cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa,
hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
j.
Pembedahan,
meliputi kraniotomi atau kraniektomi
k.
Pada trauma
berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari
pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama,
ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrik tube
(2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urea.
G.
Dampak trauma
kepala terhadap sistem tubuh lainnya
Adanya gangguan sistem persyarafan
akibat trauma kepala akan mengganggu sistem tubuh lainnya. Adapun gangguannya
menurut : Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996:
230) Tuti Pahria,dkk (1996:50) adalah sebagai berikut:
1.
Sistem
kardiovaskuler
Trauma
kepala yang disertai dengan Subdural hematoma, akan terjadi perdarahan dan
edema serebri sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Kondisi ini
akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, tachikardi kemudian bradikardi dan
iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung.
Trauma
kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktifitas atipikal
miokardiar, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya perdarahan
otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler
menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan
simfatik dan parasimfatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak
begitu besar.
Aktifitas
miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke
work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen saraf
simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan
penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh
berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya
peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
2.
Sistem
pernafasan
Adanya
edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru,
menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne stokes
dihubungkan dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap
karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan
karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah,
aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi
alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF
(Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan sistem pernafasan
akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini menyebabkan pertambahan
CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan tingginya tekanan intra
kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio
otak, terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang
mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan
interstisial otak normal tidak didapatkan edema otak terjadi karena penekanan
terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak dapat menyebabkan
herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan
daerah medula oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai
dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
Trauma
kepala dapat mengakibatkan penurunan kesadaran yang dapat menyebabkan
terakumulasinya sekret pada trakheobronkhiolus, sehingga akan terjadi obstruksi
pada saluran pernapasan.
3.
Sistem
pencernaan
Trauma
kepala juga mempengaruhi sistem pencernaan. pada klien post craniotomy
pada hari pertama akan didapatkan bising usus yang menurun karena efek narkose.
Setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang
aktifitas hipotalamus dan stimulus gagal. Hal ini merangsang anterior hipofisis
menjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani
edema serebral. Namun, pengaruhnya terhadap lambung adalah peningkatan ekskresi
asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu hiperasiditas terjadi
karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stres yang
mempengaruhi produksi lambung. Hiperasiditas yang tidak ditangani akan
menyebabkan perdarahan lambung. sedangkan peningkatan asam lambung akan mengakibatkan
klien mual dan muntah. klien dengan peningkatan tekanan intra kranial akibat
trauma kepala ditandai dengan muntah yang seringkali proyektil.
4.
Sistem endokrin
dan perkemihan
Pada
trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungannya retensi
natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium disebutkan
karena adanya stimulus terhadap hipotalamus yang menyebabkan pelepasan ACTH dan
sekresi aldosteron. Pada pasien dengan trauma kepala khususnya fraktur
tengkorak. Kerusakan pada kelenjar hipofisis atau hipotalamus atau TTIK.
Gambaran klinis dapat dikomplikasi oleh diabetes insipidus. Pada keadaan ini
terdapat disfungsi ADH. Dengan penurunan jumlah ADH yang ada pada darah, ginjal
mengekskresikan terlalu banyak air, menimbulkan dehidrasi. Pada klien dengan
penurunan kesadaran dapat menyebabkan inkontinensia urine karena lemahnya
kontrol otot spinkter uretra eksterna.
5.
Sistem
muskuloskeletal
Pada
disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat
kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan
tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang dapat membuat komplikasi
seperti peningkatan spastisitas dan kontraktur. klien dengan penurunan
kesadaran akan gelisah serta gerakan kaki dan tangannya yang tidak
terkontrol.
6.
Sistem
integumen
Pada
klien yang dilakukan craniotomy tampak luka operasi pada kepala bila
penyembuhan luka tidak baik akan didapatkan tanda-tanda rubor, tumor, dolor,
kalor dan fungsiolesa dan bila infeksi akan didapatkan gangguan integritas
kulit selain itu juga dapat terjadi peningkatan suhu tubuh sehingga pada
anggota badan akan tampak banyak keringat.
H.
Komplikasi dari
trauma kepala
a.
Kebocoran
cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi
pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup. Hal ini beresiko terjadinya meningitis (biasanya
pneumokok).
b.
Fistel
karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan bruit
orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi
diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon
endovaskular merupakan cara yang paling efektif dan dapat mencegah hilangnya
penglihatan yang permanen.
c.
Diabetes
insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan
sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
d.
Kejang
pascatrauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi
untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang
lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens
keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah
cedera kepala tertutup adalah 5%; resiko mendekati 20% pada pasien dengan
perdarahan intrakranial atau fraktur depresi.
II.
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Persyarafan Akibat Trauma Kepala
- Pengkajian
Pengkajian merupakan pendekatan
sistematis untuk mengumpulkan data baik subyektif atau obyektif dan kemudian
menganalisanya. Data-data dalam pengkajian ini meliputi:
a.
Identitas klien
1)
Identitas klien
Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada usia
produktif atau pada lansia, jenis kelamin mayoritas pria, agama, pendidikan,
pekerjaan klien biasanya berhubungan dengan sarana transportasi, status
marital, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, golongan
darah, no.medrek, diagnosa medis dan alamat.
2) Identitas penanggung
jawab
Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b.
Riwayat
kesehatan
1)
Alasan masuk
Rumah Sakit
Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas,
namun tidak menutup kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada Alasan klien
masuk Rumah Sakit perlu dikaji mengenai kapan, dimana, penyebab, bagaimana
proses terjadinya, apakah klien pingsan, muntah atau perdarahan dari hidung
atau telinga.
2)
Keluhan utama
saat dikaji
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke rumah
sakit dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-12), sedangkan apabila klien
sudah sadar penuh biasanya akan merasa bingung, mengeluh muntah, dispnea,
tachipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparese,
luka di kepala, akumulasi sputum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung
dan telinga dan adanya kejang yang disebabkan karena proses benturan
akselerasi-deselerasi pada setiap daerah lobus otak yang dapat menyebabkan
konkusio atau kontusio serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran kurang
atau bisa lebih dari 24 jam.
3)
Riwayat
kesehatan dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami trauma kepala atau
penyakit sistem syaraf serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga apakah klien
memiliki kebiasaan kebut-kebutan di jalan raya, memakai Helm dalam mengendarai
kendaraan, meminum minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang.
4)
Riwayat
kesehatan keluarga
Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular,
kebiasaan buruk dalam keluarga seperti merokok atau keadaan kesehatan anggota
keluarga.
c.
Pemeriksaan
fisik
1)
Sistem pernafasan
Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama, kedalaman maupun
frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (cheyne stokes, ataxia
breathing), bunyi nafas ronchi atau stridor, adanya sekret pada trakheo
bronkhiolus, adanya retraksi dinding dada.
2)
Sistem
kardiovaskuler
Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah menurun
kecuali apabila terjadi peningkatan tekanan intra kranial maka tekanan darah
meningkat, denyut nadi tachikardi, kemudian bradikardi atau iramanya tidak
teratur sebagai kompresi kerja jantung untuk membantu mengurangi tekanan intra
kranial.
3)
Sistem
pencernaan
Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus
yang normal atau bisa juga menurun apabila masih ada pengaruh anestesi, perut
kembung, bibir dan mukosa mulut tampak kering, klien dapat mual dan muntah.
kadang-kadang konstipasi karena klien tidak boleh mengedan atau inkontinensia
karena klien tidak sadar. Pada perkusi abdomen terdengar timpani, nyeri tekan
pada daerah epigastrium, penurunan berat badan.
4)
Sistem
perkemihan
Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien sadar,
sedangkan pada klien tidak sadar akan didapatkan inkontinensia urine dan fekal,
jumlah urine output biasanya berkurang. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia.
5)
Sistem
muskuloskeletal
Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan
gerakan-gerakan involunter, kejang, gelisah, ataksia, paralisis dan kontraktur,
kekuatan otot mungkin menurun atau normal.
6)
Sistem integumen
Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala,
suhu tubuh mungkin di atas normal, banyak keringat. Pada hari ketiga dari
operasi biasanya luka belum sembuh karena masih agak basah/ belum kering.
biasanya masih terdapat hematoma pada klien dengan perdarahan dimeningen. Data
fisik yang lain adalah mungkin didapatkan luka lecet dan perdarahan pada bagian
tubuh lainnya. Bentuk muka mungkin asimetris.
7)
Sistem
persyarafan
a)
Test fungsi
serebral
1)
Klien mengalami
penurunan kesadaran maka dalam orientasi, daya ingat, perhatian dan perhitungan
serta fungsi bicara klien sehingga hasil pemeriksaan status mentalnya kurang
dari normal atau kurang dari 20 ditandai dengan amnesia, gangguan kognitif,
dll.
2)
Tingkat
kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran berkisar antara obtunded sampai
lethargi. Kuantitas: nilai GCS: 9-12
3)
Pengkajian
bicara
(a)
Proses reseptif
Biasanya didapatkan kesulitan mengucapkan kata-kata yang leih dari
satu kata misalnya “sakit kepala” atau “rumah sakit”
(b)
Proses
ekspresif
Biasanya didapatkan bicara kurang lancar, tidak spontan dan tidak
jelas
b)
Test nervus
kranial (Lumbantobing, 2003: 24), (Tuti
Pahria, dkk, 1996: 55)
1)
Nervus I
(olfaktorius)
Memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia
bilateral yang disebabkan karena terputusnya serabut olfaktorius selain karena
trauma kepala juga bisa disebabkan oleh infeksi.
2)
Nervus II
(optikus)
Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan gejala berupa penurunan
daya penglihatan, penurunan lapang pandang
3)
Nervus III, IV,
VI (okulomotorius, troklearis, abdusen)
Pada trauma kepala yang disertai dengan perdarahan intrakranial
akan menyebabkan gangguan reaksi pupil yang lambat/ midriasis karena tekanan
pada bagian pinggir nervus III yang mengandung serabut parasimpatis. Gangguan
kelumpuhan N IV, namun jarang terjadi. Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya
diplopia, gejala lainnya berupa refek cahaya menurun, anisokor.
4)
Nervus V
(trigeminus)
Gangguan ditandai adanya anestesi daerah dahi.
5)
Nervus VII
(fasialis)
Pada trauma kepala yang mengenai neuron motorik atas unilateral
dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya
penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior
6)
Nervus VIII
(akustikus)
Pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan
keseimbangan tubuh.
7)
Nervus IX, X,
XI (glosofaringetus, vagus, assesoris)
Gejala jarang ditemukan karena klien akan meninggal apabila trauma
mengenai syaraf tersebut. Adanya hiccuping (cegukan) karena kompresi pada
nervus vagus yang menyebabkan spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi
batang otak. Cegukan yang terjadi biasanya beresiko peningkatan tekanan
intrakranial.
8)
Nervus XII
(hipoglosus)
Gejala yang biasa timbul adalah jatuhnya lidah ke salah satu sisi,
disfagia, dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
d.
Data psikologis
(Tuti Pahria, dkk, 1996: 57)
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka data psikologis
tidak dapat dikaji. Sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal
(GCS: 13-15) akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi
yang labil, iritabel, apatis, delirium.
e.
Data sosial
Data yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan
orang-orang terdekat dan yang lainnya. Kemampuan berkomunikasi dan peranannya
dalam keluarga. Pada klien yang mengalami penurunan kesadaran data sosial tidak
dapat dikaji. Sedangkan pada klien yang tingkat kesadarannya normal, pada klien
trauma kepala akan didapatkan kesulitan berkomunikasi bila area trauma pada
lobus temporal.
f.
Data spiritual
Data spiritual pada klien dengan penurunan kesadaran tidak dapat
dikaji, sehingga data ketaatan klien terhadap agamanya, semangat dan falsafah
hidup serta keTuhanan yang diyakini klien tidak dapat terkaji.
g.
Data penunjang
(Doenges, et al, 2000:272)
1)
Pemeriksaan
analisa gas darah
Biasanya memperlihatkan acidosis respiratorik yaitu:
1)
PH darah: <
7,35
2)
PaO2
menurun antara 60-80 mmHg
3)
PaCO2
: > 45 mmHg
4)
HCO3:
>22-26 mEq/l
5)
Base excess:
-2,5 s.d + 2,5
6)
Saturasi: 95%
2)
Pemeriksaan
elektrolit biasanya didapatkan gambaran:
1)
Natrium: >
14 mEq/l
2)
Kalium: < 3,5
mEq/l
3)
Kalsium: >
11 mg%
4)
Fosfat: 3 mg%
5)
Chlorida: >
107 mEq/l
3)
Pemeriksaan HB
dan leukosit biasanya didapatkan:
1)
Penurunan HB
(kurang dari normal: 13-18 gr/dl)
2)
Leukosit
meningkat (lebih dari normal: 3,8 – 10,6 ribu mm3)
4)
CT Scan (tanpa/
dengan kontras): mengidentifikasi hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran jaringan otak.
Catatan: Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada
iskemia/ infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
5)
MRI: Sama
dengan CT Scan dengan/ tanpa menggunakan kontras
6)
Angiografi
serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan
otak akibat oedema, perdarahan, trauma
7)
EEG: Untuk
memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
8)
Sinar X:
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
garis tengah (karena perdarahan, oedema), adanya fragmen tulang
9)
BAER (Brain
Auditory Evoked Respons): Menentukan fungsi kortexs dan batang otak
10)
PET (Position
Emission Tomography): Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme pada otak
11)
Fungsi Lumbal,
CSS: Dapat mendeteksi kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid dan memastikan
bocornya CSS sehingga terjadi iritasi meningen mengakibatkan meningitis
12)
Pemeriksaan
toksikologi: Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan
kesadaran
13)
Kadar
antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat therapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
- Diagnosa Keperawatan Dan Perencanaan
Setelah data terkumpul kemudian
dilakukan analisa terhadap data untuk menentukan diagnosa keperawatan yang
muncul baik aktual maupun resiko.
Pada klien post craniotomy
dekompresi atas indikasi moderat HI disertai subdural hematoma fronto temporo
parietal dextra, kemungkinan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah
sebagai berikut:
a.
Resiko atau
aktual tidak efektifnya pola pernafasan, disebabkan oleh:
1)
Gangguan/
kerusakan pusat pernafasan di medula oblongata
2)
Adanya
obstruksi trakeobronkial
Tujuan:
Pola nafas efektif dalam batas
normal
Kriteria evaluasi:
1)
Pola nafas
dalam batas normal dengan frekuensi 14-20 kali/ menit (untuk dewasa) dan
iramanya teratur
2)
Bunyi nafas
normal tidak ada stridor, ronchi, dullness dan wheezing
3)
Tidak ada
pernafasan cuping hidung
4)
Pergerakan dada
simetris/ tidak ada retraksi
5)
Nilai analisa
gas darah arteri normal yaitu:
pH darah:
7,35-7,45
PaO2:
80-100 mmHg
PaCO2:
35-45 mmHg
HCO3:
22-26 mEq/ L
BE: -2,5 - +2,5
Saturasi O2:
95-98%
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Monitor kecepatan, kedalaman, frekuensi,
irama dan bunyi nafas
2.
Atur posisi
pasien dengan posisi semi fowler (150 – 450)
3.
Lakukan
penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 detik. Catat sifat, warna
dan bau sekret. Lakukan bila tidak ada retak pada tulang basal dan robekan
dural
4.
Berikan
posisi semi prone lateral/ miring. Bila tidak ada kejang dan setelah 4 jam
pertama, ubah posisi miring atau prone (telentang) tiap 2 jam
5.
Apabila
pasien sudah sadar, anjurkan dan ajak latihan nafas dalam
6.
Lakukan
kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi oksigen, monitor ketepatan
terapi oksigen dan komplikasi yang mungkin timbul
7.
Lakukan
kolaborasi dengan tim medis dalam melaksanakan analisa gas darah
|
Perubahan
yang terjadi dan hasil pengkajian berguna dalam menunjukkan adanya komplikasi
pulmonal dan luas-nya bagian otak yang terkena
Dengan
menempatkan pasien posisi semi fowler maka akan mengurangi penekanan isi
rongga perut terhadap diapraghma, sehingga ekspansi paru tidak terganggu.
Kepala ditinggikan dengan tempat tidur (tanpa bantal) untuk cegah
hiperekstensi/ fleksi
Dengan
dilakukannya penghisapan lendir maka jalan nafas akan bersih dan akumulasi
dari sekret bisa dicegah sehingga pernafasan akan tetap lancar dan efektif.
Penghisapan dilakukan hati-hati untuk mencegah terjadinya iritasi saluran
nafas dan refleks vagal
Posisi semi
prone dapat membantu keluarnya sekret dan mencegah aspirasi sehingga dapat
membuka jalan nafas. Mengubah posisi dapat berguna untuk merangsang
mobilisasi sekret di saluran pernafasan
Latihan nafas
dalam berguna untuk melatih complain paru
Pemberian
oksigen terapi tambahan dapat meningkatkan oksigenisasi otak untuk mencegah
hipoksia. Monitor pemberian oksigen untuk mencegah terjadinya pemberian
oksigen yang berlebihan, iritasi saluran nafas
Analisa gas
darah dapat menentukan keefektifan respiratori, keseimbangan asam basa dan
kebutuhan terapi
|
b.
Resiko
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh:
1)
Adanya proses
desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak
2)
Kelainan
sirkulasi serobrospinal
3)
Vasodilatasi
pembuluh darah otak akibat asidosis metabolik
Tujuan:
Peningkatan tekanan intra kranial tidak terjadi
Kriteria
evaluasi:
Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial seperti
tekanan darah meningkat, denyut nadi lambat, pernafasan dalam dan lambat,
hipertermia, pupil melebar, anisokor, refleks terhadap cahaya negatif,
kesadaran bertambah buruk, nilai GCS < 1
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Monitor
status neurologis yang berhubungan dengan tanda-tanda TTIK terutama GCS.
2.
Monitor tanda-tanda
vital: tekanan darah, denyut nadi, respirasi, suhu minimal setiap jam sampai
keadaan pasien stabil
3.
Naikkan
kepala dengan sudut 150-450, tanpa bantal (tidak
hiperekstensi dan fleksi) dan posisi netral (dari kepala hingga daerah lumbal
dalam garis lurus)
4.
Monitor
asupan dan haluaran setiap 8 jam sekali
5.
Kolaborasi
dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan anti edema seperti manitol,
gliserol dan lasix
6.
Monitor suhu
dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi. Batasi pemakaian selimut, kompreslah
bila suhunya tinggi (demam)
7.
Berikan
oksigen sesuai program terapi dengan saluran pernafasan yang lancar
8.
Bantu pasien
untuk menghindari/ membatasi batuk, muntah atau mengedan seperti pada saat
BAB
|
Hasil dari
pengkajian dapat diketahui secara dini adanya tanda-tanda dan peningkatan
tekanan intra kranial sehingga dapat menentukan arah tindakan selanjutnya.
Kecenderungan terjadinya penurunan nilai GCS menandakan adanya TTIK
Dapat
mendeteksi secara dini tanda-tanda TTIK
Dengan posisi kepala 150-450 dari badan dan
kaki maka akan meningkatkan dan melancarkan aliran balik darah vena kepala
sehingga mengurangi kongesti serebrum, edema dan mencegah terjadinya TTIK.
Posisi netral tanpa hiperekstensi dan fleksi dapat mencegah penekanan pada
saraf medula spinalis yang menambah TTIK.
Tindakan ini
untuk mencegah kelebihan cairan yang dapat menambah edema serebri sehingga
terjadi TTIK
Manitol atau
gliserol merupakan cairan hipertonis yang berguna untuk menarik cairan dari
intraseluler (sel) ke ekstraseluler (vaskuler). Lasix untuk meningkatkan
ekskresi natrium dan air yang diinginkan, untuk mengurangi edema otak.
Demam
menandakan gangguan hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolik karena demam
dan suhu lingkungan yang panas akan meningkatkan TTIK
Mengurangi
hiposemnia yang dapat meningkatkan vasodilatasi serebri, volume darah dan
tekanan intra kranial.
Aktifitas
seperti itu dapat meningkatkan tekanan intratorak dan intraabdomen yang dapat
meningkatkan TTIK.
|
c.
Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan: penurunan produksi anti
diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus
Tujuan:
Cairan elektrolit tubuh seimbang
Kriteria evaluasi:
1)
Asupan-haluaran
seimbang yaitu asupan cairan selama 24 jam 1-2 liter dan haluaran urin 1-2 cc/
KgBB/ jam
2)
Turgor kulit
baik
3)
Nilai
elektrolit tubuh normal:
Natrium: 13-14
mEq/L
Kalsium: 9-11
mg%
Kalium: 3,5-4,5
mEq/L
Fosfat: 3-4 mg%
Klorida: 46-107
mEq/l
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Monitor
asupan-haluaran setiap 8 jam sekali dan timbang berat badan setiap hari dapat
dilakukan
2.
Berikan
cairan setiap hari tidak boleh lebih dari 2000 cc
3.
Pasang dower
kateter dan monitor warna urin, bau urin dan aliran urin
4.
Kolaborasi
dengan tim medis dalam pemberian Lasix
5.
Kolaborasi
dengan tim analis untuk pemeriksaan kadar elektrolit tubuh
|
Monitor
asupan-haluaran untuk mendeteksi timbulnya tanda-tanda kelebihan atau
kekurangan cairan yang dapat dibuktikan pula dengan penimbangan berat badan
(BB)
Berguna untuk
menghindari peningkatan cairan di ruang ekstra seluler yang dapat menambah
edema otak
Dapat
membantu kelancaran pengeluaran urin sehingga terjadi urin statis. Monitor
kualitas dan kuantitas urin untuk mencegah komplikasi.
Lasix dapat
membantu meningkatkan ekskresi urin
Pada trauma
kepala dengan pemakaian manitol dan obat-obatan diuretik dapat mengalami
ketidakseimbangan elektrolit hiponatremia dan hipokalemia. Untuk itu perlu
pemeriksaan elektrolit setiap hari.
|
d.
Aktual atau
resiko terjadi gangguan pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan yang
disebabkan oleh:
1)
Berkurangnya
kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran
2)
Melemahnya
otot-otot yang digunakan untuk mengunyah atau menelan
3)
Hipermetabolik
4)
Perubahan
kemampuan untuk mencerna makanan
Tujuan:
Kekurangan nutrisi tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1)
Berat badan
pasien normal (BB normal = TB-100-(10%TB-100))
2)
Tanda-tanda
malnutrisi tidak ada
3)
Nilai-nilai
hasil laboratorium normal:
Protein total:
6-8 gr%
Albumin:
3,5-5,3 gr%
Globulin: 1,8-3,6 gr%
Hb tidak kurang dari 10 gr%
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Monitor
kemampuan mengunyah, menelan, refleks batuk dan cara mengeluarkan sekret
2.
Auskultasi
bising usus dan catat bila terjadi penurunan bising usus
3.
Timbang berat
badan
4.
Berikan
makanan dalam porsi sedikit tapi sering, baik melalui Nasogastrik tube (NGT)
maupun oral
5.
Tinggikan
kepala pasien dari badan ketika makan dan buat posisi miring dan netral/
lurus setelah makan
6.
Lakukan
kolaborasi dengan tim kesehatan (analis) untuk pemeriksaan, protein global,
globulin, albumin dan Hb
7.
Berikan
makanan melalui oral, NGT atau IVFD
|
Dapat
menentukan pilihan cara pemberian jenis makanan, karena pasien harus
dilindungi dari bahaya aspirasi
Fungsi
gastro-intestinal harus tetap dipertahankan pada penderita trauma kepala.
Perdarahan lambung akan menurunkan peristaltik (bising usus lemah). Bising
usus perlu diketahui untuk menentukan pemberian makanan dan mencegah
komplikasi
Penimbangan
berat badan dapat mendeteksi perkembangan berat badan
Memudahkan
proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi
Mencegah
regurgitasi dan aspirasi
Untuk
mengidentifikasi defisiensi nutrisi fungsi
organ dan respon nutrisi, serta menen-tukan pemberian hiperalimentasi
karena protein yang banyak keluar dari cairan serebrospinal
Pemberian
makanan dapat disesuaikan dengan kondisi pasien
|
e.
Gangguan mobilisasi
fisik, sehubungan dengan:
1)
Imobilisasi,
aturan terapi untuk tirah baring
2)
Menurunnya
kekuatan/ kemampuan motorik
Tujuan:
1)
Mampu melakukan
aktifitas fisik dan ADL (Activity Daily Living)
2)
Tidak terjadi
komplikasi dekubitus, bronkopnemonia, tromboplebitis dan kontraktur sendi
Kriteria
evaluasi:
1)
Pasien mampu
dan pulih kembali setelah pascaakut dalam mempertahankan fungsi gerak
2)
Tidak terjadi
dekubitus, bronkopnemonia, tromboplebitis dan kontraktur seni
3)
Mampu
mempertahankan keseimbangan tubuh
4)
Mampu melakukan
aktifitas ringan pascaakut dan aktifitas sehari-hari (ADL) pada tahap
rehabilitasi sesuai kemampuan
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Koreksi
tingkat kemampuan mobilisasi dengan skala 0-4
0=pasien tidak tergantung pada orang lain
1
= pasien butuh sedikit bantuan
2
= pasien butuh bantuan/ pengawasan/ bimbingan
sederhana
3=pasien butuh bantuan/
peralatan yang banyak
4=pasien sangat tergantung pada pemberian
pelayanan
2.
Atur posisi
pasien dan ubahlah secara teratur tiap 2 jam sekali bila tidak ada kejang
atau setelah 4 jam pertama. Ubah posisi dengan mempertahankan posisi netral
sewaktu membalikkan tubuh pasien terutama bila ada trauma spinal
3.
Bantu pasien
melakukan gerakan-gerakan sendi secara psif bila kesadaran menurun dan secara
aktif bila pasien kooperatif
4.
Observasi/
kaji terus kemampuan gerakan motorik, keseimbangan, koordinasi gerakan dan
tonus otot
5.
Buat posisi
seluruh persendian dalam letak anatomis dengan memberi penyanggah pada
lekukan-lekukan sendi, telapak tangan dan kaki
6.
Lakukan
massage, perawatan kulit dan mempertahankan alat-alat tenuin bersih dan
kering
7.
Lakukan
perawatan mata dengan memberi cairan aira mata buatan dan tutup mata dengan
kasa steril lembab sesuai indikasi.
8.
Bantu pasien
seluruhnya dalam memenuhi kebutuhan ADL bila kesadaran belum pulih kembali
9.
Observasi BAB
dan bantu BAB secara teratur, periksa feses yang mengeras dan terjepit di
anus. Kolaborasi dengan dokter pemberian supositoria dan pengeluaran feses
secara manual bila ada kesukaran BAB
10.
Berikan
motivasi dan latihan pada pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL-nya sesuai
kebutuhan pada tahap rehabilitasi
11.
Anjurkan
keluarga pasien untuk turut membantu melatih dan memberi motivasi
12.
Lakukan
kolaborasi dengan tim kesehatan lain (fisioterapi) dan pekerja sosial dalam
terapi fisik dan pekerjaan
|
Untuk
menentukan tingkat aktifitas dan bantuan yang diberikan
Mengubah
posisi pasien secara teratur dapat meningkatkan sirkulasi seluruh tubuh dan
mencegah adanya penekanan pada organ tubuh yang menonjol. Pasien dengan
kejang tidak boleh banyak dirangsang dengan gerakan-gerakan motorik karena
akan merangsang terjadinya kejang. Posisi netral akan mencegah trauma lebih
berat pada daerah saraf spinal dan mencegah bertambahnya TTIK
Mempertahankan
fungsi sendi dan mencegah penurunan tonus dan kekuatan otot dan mencegah
kontraktor
Untuk melihat
penurunan atau peningkatan fungsi sensoris-motoris (fungsi neurologis)
Untuk
mencegah kontraktur sendi
Meningkatkan
sirkulasi, elastisitas kulit dan integritas kulit
Untuk
mencegah iritasi mukosa mata karena kekeringan dan mencegah trauma pada mata
yang tidak dapat tertutup karena penurunan kemampuan gerakan kelopak mata
Bantuan yang
diberikan akan mampu memenuhi kebutuhan ADL
Tidak
lancarnya BAB akan menyebabkan distensi abdomen dan terjepitnya feses pada
anus akan merangsang refleks vagal yang dapat menambah TTIK. Tidak lancarnya
BAB dapat disebabkan karena kurangnya mobilisasi
Motivasi ini
diberikan untuk meningkatkan semangat hidup pasien agar lebih mandiri dalam
memenuhi ADL. Hal ini untuk menghindari ketergantungan pasien pada orang
lain.
Keterlibatan
keluarga sangat berarti dalam memberikan dukungan moril pasien sehingga
pasien akan optimis dalam keterbatasannya
Dengan
memberikan terapi fisik dan pekerjaan akan melatih pasien untuk belajar
mandiri setelah pulang ke rumah
|
f.
Gangguan
persepsi sensoris yang disebabkan oleh:
1)
Menurunnya
tingkat kesadaran (defisit neurologis)
2)
Penurunan daya
penangkapan sensoris
Tujuan:
Mengembalikan fungsi persepsi sensoris agar mengarah ke pemulihan/
normal dan komplikasi dapat dicegah atau seminimal mungkin tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1)
Tingkat
kesadaran normal: GCS = E4 M6 V5
2)
Fungsi
alat-alat indra baik
3)
Pasien
kooperatif kembali dan dapat berorientasi pada orang, tempat dan waktu
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Monitor
respon sensoris terhadap raba/ sentuhan, panas/ dingin, tajam/ tumpul dan
catat perubahan-perubahan yang terjadi
2.
Monitor
persepsi pasien, beri umpan balik dan koreksi kemampuan pasien berorientasi
terhadap orang, tempat dan waktu
3.
Berikan
stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran sampai kembali-nya fungsi
persepsi yang maksimal seperti: mengajak bicara (walau tanpa jawaban), taktil
dengan memberikan sentuhan dan pendengaran dengan musik atau bunyi-bunyian.
4.
Berbicaralah
pada pasien dengan tenang, lembut menggunakan kalimat yang sederhana. Tunggu
respon pasien/ jawaban dengan sabar baik melalui verbal,
isyarat atau tulisan
5.
Berikan
keamanan pasien dengan pengaman sisi tempat tidur, bantu latihan jalan dan
lindungi dari cedera
|
Informasi
yang didapat melalui pengkajian sangat penting untuk mengetahui tingkat
kegawatan dan kerusakan otak
Hasil
pengkajian dapat menginformasikan penurunan fungsi otak yang terkena dan
membantu intervensi selanjutnya
Stimulus
dapat merangsang kembalinya kemampuan persepsi sensoris, tingkat kesadaran
dan memori pasien
Membantu
pasien berkomunikasi untuk merangsang kondisi pasien, perhatian dan pemahaman
kembali ke arah normal (semaksimal mungkin)
Gangguan
persepsi sensoris dan buruknya keseimbangan dapat meningkatkan resiko
terjadinya injuri
|
g.
Resiko
terjadinya infeksi sehubungan dengan:
1)
Masuknya kuman
melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak
2)
Kekurangan
nutrisi
Tujuan:
Tidak terjadi infeksi baru
Kriteria evaluasi:
1)
Tidak terdapatnya
tanda-tanda infeksi seperti rabor, dolor, kalor, tumor dan fungsiolesa
2)
Tidak ada pus
pada daerah kulit yang rusak
3)
Tidak ada
infeksi dari kateter dan infus set
4)
Tidak terjadi
abses otak/ meningitis
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Lakukan cuci
tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan secara aseptik dan
antiseptik
2.
Monitor suhu
tubuh dan penurunan kesadaran
3.
Kolaborasi
dengan tim medis dalam pemberian obat-obat antibiotik
4.
Kolaborasi
dengan tim analis untuk pemeriksaan: kadar leukosit, liquor dari hidung,
telinga, dan urin serta kultur resistensi
5.
Bila ada
perdarahan melalui hidung dan telinga atau liquor yang keluar dari hidung dan
telinga maka tutup dengan kasa steril. Jangan memasukkan alat-alat tidak
steril
6.
Periksakan
cairan/ liquor yang keluar dari hidung dan telinga. Kolaborasi dengan medis
dan analis
|
Untuk
mencegah infeksi nosokomial
Untuk
mendeteksi tanda-tanda sepsis
Antibiotik
berguna untuk membunuh atau memberantas bibit penyakit yang masuk ke dalam
tubuh sehingga infeksi dapat dicegah
Kadar
leukosit darah dan urin adalah indikator dalam menentukan adanya infeksi.
Liquor dari
mulut dan hidung diperiksa untuk menentukan jenis kuman dan terapi yang akan
digunakan
Bila ada
kuman yang masuk melalui hidung dan telinga akan menyebar sampai cairan
serebrospinal sehingga dapat menyebabkan abses otak dan meningitis
Untuk
mengkaji apakah berasal dari cairan serebrospinal
|
h.
Gangguan rasa
nyaman (pada pasien yang tingkat kesadarannya sudah pulih, GCS = 15): nyeri
kepala, pusing dan vertigo disebabkan karena:
Kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/ peningkatan tekanan
intrakranial
Tujuan:
Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi
Kriteria evaluasi:
1)
Pasien tenang,
tidak gelisah
2)
Nyeri kepala,
pusing dan vertigo hilang
3)
Pasien dapat
istirahat dengan tenang
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Monitor
mengenai lokasi, intensitas, penyebaran, tingkat kegawatan dan
keluhan-keluhan pasien
2.
Ajarkan
latihan teknik relaksasi seperti latihan nafas dalam dan relaksasi otot-otot
3.
Buat posisi
kepala lebih tinggi (150-450)
4.
Kurangi
stimulus yang tidak menyenangkan dari luar dan berikan tindakan yang
menyenangkan seperti massage daerah punggung, kaki, dll
5.
Kolaborasi
dengan tim media dalam pemberian obat-obatan analgetik
|
Untuk
memudahkan membuat intervensi
Latihan nafas
dalam dan relaksasi otot-otot dapat mengurangi ketegangan syaraf sehingga
pasien merasa lebih rileks dan dapat mengurangi rasa nyeri kepala, pusing dan
vertigo. Latihan nafas dalam dapat membantu pemasukan oksigen lebih banyak,
terutama untuk oksigenisasi otak
Posisi kepala
lebih atas dari badan dan kaki akan meningkatkan dan melancarkan aliran balik
pembuluh darah vena dari kepala sehingga dapat mengurangi edema dan TTIK
Respon yang
tidak menyenangkan menambah ketegangan saraf dan massage daerah punggung,
kaki, dll akan mengalihkan rangsangan terhadap nyeri, pusing dan vertigo
Obat
analgetik untuk meningkat-kan ambang rangsang nyeri, pusing yang dapat
mengurangi/ menghilangkan rasa nyeri
|
i.
Gangguan
kemampuan proses berfikir dengan baik dan logis yang disebabkan oleh:
1)
Konflik
psikologis
2)
Gangguan fungsi
sensoris
Tujuan:
Kemampuan berpikir pasien dapat kembali normal
Kriteria evaluasi:
1)
Pasien dapat
menerima/ berorientasi terhadap kenyataan
2)
Pasien dapat
mengenali adanya perubahan-perubahan dalam proses
3)
Keluarga dapat
menerima perubahan berfikir pasien
4)
Pasien mau
berperan serta dalam proses latihan atau perawatan
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Monitor
kemampuan berfikir dengan menanyakan nama dan orientasi terhadap lingkungan
di sekitarnya; tempat, orang dan waktu.
2.
Monitor perhatian
dan cara pasien mengalihkan perhatiannya kemudian catat tingkat kecemasan
3.
Berikan
penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang perubahan berfikir pasien dan
rencana perawatan
4.
Ajarkan
teknik relaksasi, jangan berikan tantangan berfikir keras dan beri aktifitas
sesuai kemampuan
5.
Beritahu
pasien dan keluarga bahwa fungsi intelektual, fungsi perilaku dan emosi
lambat laun akan normal bila kerusakan otak dapat pulih kembali. Tetapi
efek-efek tertentu dapat bertahan sebagai gejala sisa.
|
Dengan mengetahui
kemampuan berfikir pasien maka dapat ditentukan rencana latihan-latihan yang
berhubungan dengan stimulus proses berpikir dan memori
Pada trauma
kepala terutama kontusio serebri akan mengalami penurunan kemampuan
berkonsentrasi dan dalam memusatkan perhatian. Hal ini menimbulkan kecemasan.
Dengan
memberi penjelasan kepada pasien dan keluarga, dapat mengurangi kecemasan
pasien dan keluarga, sehingga dapat diajak bekerja sama dalam mengantisipasi
keadaan dan meningkatkan peran sosial
Tindakan ini melatih
pasien dalam memusatkan perhatian sehingga lambat laun kemampuan berpikir
pasien akan pulih kembali (sesuai dengan kerusakan otak yang terjadi).
Dengan
penjelasan yang tepat dan keterbukaan tim pelayanan kesehatan terhadap pasien
dan keluarga akan memberikan kesiapan dan kesabaran dalam latihan-latihan
saat proses rehabilitasi
|
j.
Resiko terhadap
cedera berhubungan dengan gerakan tonik/ klonik tak terkontrol selama episode
kejang dan/ atau somnolen
Tujuan:
Cedera tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1)
Klien tidak
mengalami cedera
2)
Tidak terjadi
luka baru
3)
Kesadaran
meningkat
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Libatkan
keluarga untuk terus menemani klien
2.
Modifikasi
lingkungan dengan cara:
- menjauhkan benda-benda tajam,
memasang bed plang, bantahan di pinggir tempat tidur
3.
Pasang restrain
dan fiksasi klien bila perlu
4.
Berikan
penjelasan pada keluarga tentang pencegahan trauma
|
Keluarga
dapat mengawasi keadaan klien dan menghindari perilaku yang membahayakan
klien
Lingkungan
yang aman dapat mengurangi resiko cedera
Mencegah
gerakan yang tidak terkontrol yang dapat menimbulkan cedera
Keluarga
dapat mengetahui dan memahami cara mencegah trauma
|
k.
Perubahan
eliminasi urinarius (inkontinen atau retensi) berhubungan dengan penurunan
kesadaran
Tujuan:
Retensi atau inkontinensi tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1)
Klien dapat BAK
dengan lancar
2)
Pola BAK
terkontrol
3)
Warna urine
kuning muda
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Monitor
intake dan output urine
2.
Palpasi distensi
kandung kemih dan observasi pengeluaran urine
3.
Bersihkan
daerah perineum dan jaga agar tetap kering
4.
Lakukan
pemasangan dan perawatan kateter, jika perlu
5.
Latih klien
teknik bladder training bila klien sehat
|
Mengetahui
keseimbangan cairan klien
Mengidentifikasi
adanya kontraksi kandung kemih
Mencegah
infeksi pada meatus uretra externa
Dapat
menurunkan resiko terjadinya iritasi kulit atau infeksi
Melatih otot
spinkter uretra eksterna sehingga kontrol klien untuk BAK meningkat.
|
- Implementasi
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan
dari perencanaan keperawatan yang telah ditentukan, dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan pasien secara optimal. Pelaksanaan tindakan pada klien
dengan gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala difokuskan pada tindakan-tindakan
yang ditujukan pada upaya untuk mengembalikan tekanan intra kranial pada
kondisi normal (50-200 mmH2O atau 4 – 15 mmHg), kebutuhan O2
ke otak terpenuhi, pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat, pemenuhan
kebutuhan aktifitas sehari-hari klien, mengembalikan fungsi persepsi sensori
dan fungsi kognitif kembali normal serta pencegahan terjadinya cedera berulang.
- Evaluasi (Nasrul Effendy, 1995: 46)
Tahap penilaian atau evaluasi adalah
perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan pasien dengan
tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan
melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lainnya.
Evaluasi dalam keperawatan merupakan
kegiatan dalam melaksanakan rencana tindakan yang telah ditentukan untuk
mengetahui pemenuhan kebutuhan pasien secara optimal dan mengukur hasil dari
proses keperawatan.
Evaluasi keperawatan adalah mengukir
keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan
dalam memenuhi kebutuhan pasien.
Kriteria keberhasilan pada klien
dengan gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala adalah klien berada
pada kondisi kesadaran penuh dengan nilai GCS: 15, tanpa adanya kecacatan fisik
dan gejala sisa.
I
4 komentar:
Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*EW*A*P*K / pin bb D87604A1
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)
ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
Promo Fans**poker saat ini :
- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^
hy guys ingin nmendapatkan uang jutaan rupiah gak ^^
ayo segera bergabung dengan saya di AJOQQ.CLUB
disini hanya dengan minimal deposit 15.000 kalian semua bisa menang jutaan rupiah lo
ayo tunggu apa lagi kami tunggu ya pendaftarannya ^^
mari coba keberuntungannya bersama kami hanya dengan
deposit minimal 20.000 bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apalagi, segera bergabung bersama kami di IONQQ".COM
Posting Komentar